I. Pendahuluan
A. Latar
Belakang
Bangsa yang besar adalah bangsa yang
terus berpijak pada budaya, kemanapun bangsa tersebut berkembang. Apalah arti
nilai-nilai adiluhung yang terkandung dalam budaya tersebut apabila kelak akan
terhenti pada suatu generasi. Seberapa erat sang penerus menjaga menjaga akar
kebudayaan akhirnya menjadi faktor tertentu kebesaran sebuah bangsa. Budaya
Jawa, sebagai satu dari sekian ragam budaya yang dimiliki bangsa kita tengah
berdiri menghadapi tantangan yang juga menjadi tantangan setiap budaya di era
modern.
Salah satu dilema yang dihadapi
masyarakat yang sedang berada dalam era modernisasi adalah bagaimana
menempatkan nilai-nilai dna organisasi keagamaannya ditengah-tengah perubahan
yang terus terjadi dengan cepat dalam kehidupan sosialnya. Disatu pihak ia
ingin mengikuti gerak modernisasi, dipihak lain ia tidak ingin kehilangan
karakteristik kepribadiannya yang ditandai dengan berbagai macam nilai yang
dianutnya.
Pada
pembahasan makalah kami ini, akan mencoba mendiskripsikan tentang dinamika
nilai Jawa Islam, bagaimana perpaduan nilai budaya Jawa dengan Islam, dan
tantangan modernitas terhadap nilai-nilai Jawa Islam.
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana perpaduan nilai budaya
Jawa dengan Islam?
2.
Bagaimana
enkulturasi nilai budaya Jawa Islam?
3.
Bagaimana
dinamika nilai Jawa Islam dalam menghadapi modernisasi?
II. Pembahasan
A. Nilai
Jawa Islam
Agama Islam mengalami proses
lokalisasi di Jawa. Islam di Jawa telah disesuaikan dengan cara hidup Jawa,[1] serta disesuaikan dengan kebudayaan
yang ada di Jawa. Kebudayaan adalah hasil daya cipta, karsa, dan rasa
manusia.[2] Ada dua faktor
yang mendorong terjadinya perpaduan nilai-nilai budaya Jawa dan Islam:
1.
Secara alamiah, sifat dari budaya itu pada hakikatnya terbuka
untuk menerima unsur budaya lain.
2.
Sikap toleran para walisongo dalam menyampaikan ajaran Islam
di tengah masyarakat Jawa yang telah memiliki keyakinan pra Islam yang
sinkretis.[3]
B.
Enkulturasi
nilai budaya Jawa Islam
Enkulturasi (Pembudayaan) yang secara terus-menerus dilakukan
melalui tradisi lisan maupun tertulis membuat nilai budaya dalam setiap individu
tertanam secara mantap. Kuatnya adat istiadat yang melekat dalam diri seseorang
menyebabkan sulitnya merubah adat yang telah mengakar dalam masyarakat.
Dalam enkulturasi nilai budaya Jawa
Islam, selain dilakukan oleh individual dan masyarakat, juga didukung pula oleh
penguasa. Enkulturasi yang dilakukan secara mantap oleh raja maupun masyarakat
dalam waktu yang lama menyebabkan nilai budaya Jawa Islam sampai sekarang masih
melekat di masyarakat Jawa, walaupun telah mengalami pergeseran, sebagaimana
lazimnya budaya lain yang mengalami perubahan, sesuai dengan situasi dan
kondisi masyarakat pencipta kebudayaan tersebut.[4]
C.
Dinamika nilai Jawa Islam dalam
menghadapi modernisasi
Kata “modern”, “modernitas”, dan
“modernisasi” merupakan pengertian-pengertian abstrak yang sudah sangat
populer. Dan yang lebih menonjol dari modernitas yang kita hadapi sekarang
adalah teknikalisme atau pandangan yang serba terkait dengan teknologi. Karena
adanya perang sentral teknikalisme serta bentuk-bentuk kemasyarakatan yang
terkait dengan itu, maka orang-orang menyebut zaman sekarang sebagai “technical
age”.[5] Modernisasi
berarti progress. Progress
adalah dinamika , yaitu suatu proses yang berputar terus-menerus.[6] Modernisasi adalah
pembangunan kemampuan individu-individu supaya mereka menguasai
kebendaan, supaya mereka mampu mengatasi problematik sosial dan ekonomis, supaya mereka mampu
mengatur hidup masyarakat.[7]
Dalam masyarakat Jawa, akrab dengan
pembagian antara kalangan Islam yang secara setia menjalankan peraturan agama
dan Islam KTP (santri vs. abangan). Sebagai suatu rumusan yang
mungkin menggambarkan realitas sosial, rumusan ini seolah-olah menggambarkan
kehidupan di Jawa statis dan tidak takluk pada perubahan.[8] Pemisahan
kultural ini menjadi lebih buruk ketika dimasuki unsur politis, yang
menumbuhkan kelompok-kelompok kultural yang terpisah, intoleransi, dan
perjuangan idiologis yang hebat.[9]
Wujud budaya tidak lepas dari situasi
dan waktu dihasilkannya unsur kebudayaan tersebut. Oleh karenanya, dalam
kebudayaan dikenal dengan adanya perubahan. Seperti terjadinya penyempurnaan
sehingga ditemukan adanya perkembangan budaya bangsa-bangsa di dunia ini, dari
tingkat yang paling sederhana ke arah yang lebih kompleks. Dengan terjadinya
globalisasi di era modern ini, ada unsur budaya lokal yang memiliki nilai
universal dan ditemukan pada
bangsa-bangsa yang ada di belahan dunia lainnya.
Dalam proses perubahan kebudayaan ada
unsur-unsur kebudayaan yang mudah berubah dan ada yang sukar berubah, berkaitan
dengan hal ini Linton membagi kebudayaan menjadi inti kebudayaan (convert culture) dan perwujudan
kebudayaan (overt culture). Bagian
inti terdiri dari sistem nilai budaya, keyakinan keagamaan yang dianggap
keramat, beberapa adat yang telah mapan dan telah tersebar luas di masyarakat.
Bagian inti kebudayaan sulit berubah, seperti keyakinan agama, adat istiadat,
maupun sistem nilai budaya.[10] Sementara itu
wujud kebudayaan yang merupakan bagian luar atau fisik dari kebudayaan, seperti
alat-alat atau benda-benda hasil seni budaya, mudah untuk berubah.
Dengan menggunakan kerangka teori
tersebut, maka nilai budaya Jawa Islam yang sulit berubah di masa modern ini
adalah yang terkait dengan keyakinan keagamaan dan adat istiadat. Dalam konteks
terjadinya perubahan ke arah modernisasi yang berciri rasionalistis,
materialistis dan egaliter, maka nilai budaya Jawa dihadapkan pada tantangan
budaya global yang memiliki nilai dan perwujudan budaya yang pluralistik.
Sebagai budaya lokal, budaya Jawa Islam memang memiliki nilai universal,
disamping nilai lokalnya. Diantaranya, nilai keuniversalan itu terletak pada
nilai spiritualnya yang religius magis. Nilai
ini juga ditemukan pada bangsa di negeri lain, tidak terbatas pada budaya Jawa.
Maka nilai itu nampaknya masih akan hidup di masyarakat, karena adanya
faktor-faktor penyebab diantaranya, nilai spiritual Jawa Islam yang sinkretis,
yang dalam realitasnya tidak mudah hilang dengan munculnya rasionalisasi
diberbagai segi kehidupan karena diperlukan dalam menghadapi berbagai tantangan
hidup yang muncul di abad modern. Jadi, orang yang mengaku agama Islam, atau
penganut budaya Jawa Islam, tidak dapat meninggalkan tradisi spiritualnya
seperti slametan dan wetonan dengan membuat bubur abang putih agar mendapatkan
keselamatan. Ketenangan batin mereka akan terusik jika tidak melaksanakan slametan pada hari tertentu sebagaimana
terdapat dalam adat istiadat Jawa yang bertahun-tahun dilaksanakan oleh nenek
moyang. Karena adat itu telah mengakar lama dalam masyarakat. Namun, dalam
kenyataannya di masyarakat, ada pula adat istiadat Jawa yang telah mengalami
pergeseran sehingga dipandang tidak memiliki nilai magis lagi, tetapi sekedar
bernilai seni. Misalnya rangkaian upacara dalam perkawinan seperti tarub, siraman, midodareni, kacar kucur,
dan lainnya, yang dulu mempunyai nilai religius
magis.
Kehidupan spiritual di era modern ini
secara umum memang tampak mengalami peningkatan, termasuk dikalangan masyarakat
Jawa. Hal ini disebabkan karena sebagian besar orang mulai merasakan pengaruh
negatif dari budaya modern yang hanya menonjolkan logika dan materi, tetapi
kering dari nilai spiritual. Sejalan dengan hal itu maka banyak orang yang
merindukan ketenangan batin dan larilah mereka ke ajaran agama dan kehidupan spiritual,
termasuk spiritualitas Jawa Islam, yang mulai banyak dilirik kembali oleh
masyarakat modern.
Kehidupan spiritual dibutuhkan pula
oleh masyarakat modern di saat terjadi persaingan ketat yang menuntut
profesionalisme dan kualitas tinggi di berbagai bidang. Hal ini menyebabkan
banyak orang stress, dan mereka mencari ketenangan batin, diantaranya dengan
kembali kepada tradisi spiritual Jawa Islam yang sinkretis. Tidak mengherankan
jika di era modern ini upacara yang sejak dulu telah mengakar di masyarakat,
yang bersifat religius magis banyak
dilakukan lagi, seperti ruwatan untuk
membuang sial. Kepercayaan bahwa orang-orang yang termasuk dalam kelompok sukerta, seperti anak tunggal, dapat
menjadi korban dari Batara Kala, maka perlu diberi kekuatan batin. Hal ini
mendorong orang-orang di era modern untuk melakukan ruwatan sebagai tolak bala.[11]
Budaya masyarakat Jawa lainnya yang
masih tetap terpelihara dan dijaga oleh sebagian besar masyarakat Jawa di masa
sekarang diantaranya,
1.
Prinsip kerukunan
Menurut Franz Magnis, yang dinamakan prinsip kerukunan apabila seseorang
hendaknya bersikap sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan konflik.[12] Hal untuk
mencegah konflik contohnya bisa dilakukan dengan kemampuan untuk menyampaikan
hal-hal yang tidak enak secara tidak langsung.[13]
2.
Prinsip hormat
Menurut Franz Magnis, yang dinamakan prinsip hormat apabila seseorang
dalam berperilaku, berbicara, dan bertindak dapat menunjukkan sikap hormat
kepada orang lain.[14] Dalam
pengamatan Sutherland, sikap hormat dan sikap-sikap yang berhubungan dengannya
berkembang dengan jelas dalam kalangan masyarakat dimana hidup sehari-hari
sangat dipengaruhi oleh struktur-struktur hierarkis, yaitu dalam kalangan
priyayi yang secara tradisional berpedoman pada tradisi kehidupan keraton.
Sedangkan dalam lingkungan desa dengan struktur dasar yang egaliter sikap-sikap
itu tidak memainkan peranan yang begitu besar. Begitu juga dalam masyarakat
yang telah tersentuh oleh tradisi dan alam pemikiran modern yang menyeru pada
kesamaan derajat dan kedudukan antarsesama.[15]
Dilihat dari kebutuhan masyarakat
modern terhadap nilai optimal, maka perubahan nilai budaya Jawa Islam di era
modern tampaknya lebih tampak terjadi pada budaya fisik. Dalam realitasnya,
beberapa nilai budaya Jawa Islam seperti seni, ilmu pengetahuan, teknologi, dan
gaya hidup, telah mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan masyarakat
modern.
Sesuai dengan tuntutan masyarakat
modern, unsur budaya Jawa Islam dalam beberapa bidang memang membutuhkan
reinterpretasi agar sesuai dengan perubahan yang terjdi dalam masyarakat.
Misalnya ungkapan-ungkapan yang selama ini ditangkap secara tekstual tidak
sesuai lagi, perlu diberi pemaknaan yang rasional dan kondisional. Seperti
alon-alon waton kelakon. Ungkapan ini sering dikaitkan dengan etos
kerja dan sikap orang Jawa yang terkesan selalu lambat. Untuk masa sekarang,
tentu hal ini tidak cocok lagi karena dalam kehidupan modern dituntut adanya
efisiensi waktu sehingga pekerjaan perlu dilakukan secara cepat dan tepat,
ungkapan seperti ini kiranya perlu diberi makna baru, misalnya di masa modern
ini segala pekerjaan perlu manajemen yang baik agar hasilnya optimal. Untuk itu
diperlukan perencanaan dan evaluasi. Maka suatu pekerjaan tidak perlu
dilaksanakan secara tergesa-gesa (grusa-grusu), tanpa perencanaan. Mekanisme
kerja seperti itu tentu memerlukan prosedur yang lebih lama.dibandingan dengan
yang dilaksanakan tanpa perencanaan. Jika hasilnya maksimal, tentu akan timbul
ungkapan “biarlah lambat asal hasilnya optimal” senada dengan alon-alon waton kelakon.[16]
Kehidupan modern ini secara umum
memang mengalami peningkatan, termasuk dikalangan masyarakat Jawa. Di zaman
yang modern ini manusia dituntut untuk memainkan fungsi akal dan pikiran demi
menyikapi kebudayaan modern yang disuguhkan didepan kita. Tidak mungkin rasanya
menolak kebudayaan yang mengandung manfaat bagi umat manusia. Maka dengan
penyikapan yang kritis, disatu sisi kita tetap menjaga identitas kebudayaan
sendiri dan disisi lain, kita tidak terpingkirkan dari perkembangan zaman.[17]
Pemisahan yang dikembangkan dalam
buku Geertz The Religion of Java mengenai
santri-abangan sekarang ini dapat
dilihat sebagai bagian dari struktur masyarakat yang sudah lewat. Sekarang ini,
setidaknya yang terlihat di tingkat kelas menengah berpendidikan di kota, dua
arus utama dalam budaya Jawa itu sedang saling bertemu. Apalagi, semua orang
Jawa, apapun tingkat Islamisasi mereka, mengambil bagian dalam budaya Jawa.[18]
Selain itu perlu dilakukan
rekonstruksi agar kesan feodalisme yang
melekat dalam budaya Jawa, seperti tata krama yang menerapkan hierarki bahasa,
dapat diubah dalam bentuk yang egaliter. Karena dalam era modern orang tidak
lagi dibatasi oleh sekte-sekat budaya sehingga menginginkan penggunaan bahasa
yang berlaku nasional atau internasional. Disamping itu, prinsip egaliter dalam
kehidupan sosial kemasyarakatan mulai didengungkan disemua lapisan masyarakat.
Oleh karena itu, penggunaan bahasa krama
inggil yang mencerminkan strata sosial masyarakat tidak perlu dipaksakan
pemakaiannya. Yang penting, secara substansial nilai sopan santun berbicara dan bertingkah laku yang terdapat dalam
budaya Jawa Islam tetap dilestarikan, walaupun dalam format bahasa nasional
atau pun internasional. Alasannya, pada dasarnya nilai kesopanan dalam
berbicara dan bertingkah laku itu
merupakan nilai universal yang diterima oleh umat manusia di mana pun.
Dengan sifat budaya Jawa yang lentur,
diharapkan nilai-nilai budaya Jawa Islam yang luhur masih dapat bertahan,
sewaktu harus berhadapan dengan unsur budaya modern yang global. Dalam
komunikasi antar budaya yang pernah terjadi antara budaya Jawa dengan budaya
Hindu, Budha, dan Islam, ternyata tidak menyebabkan budaya Jawa luntur, tetapi
justru diperkaya dan diperhalus, melalui asimilasi maupun akulturasi. Dan untuk
berkomunikasi itu budaya jawa memiliki prinsip yang mendukung elastisitas
tersebut, misalnya filsafat tentang “keselarasan sosial” dan membangun
kesejahteraan umat manusia.[19]
III. Penutup
A.
Kesimpulan
B.
Penutup
Kritik saran
[1] Niels
Mulder, Agama, Hidup Sehari-hari dan
Perubahan Budaya, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), hlm. 250.
[2] Ahmad
Khalil, Islam Jawa: Sufisme dalam Etika
dan Tradisi Jawa, (Malang: UIN Press, 2008), hlm. 129.
[3] Darori Amin, Islam dan
Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta : Gama Media, 2000), hlm. 277-279.
[4] Ibid, hlm. 282-285.
[5]
Muhammad Tholhah Hasan, Prospek Islam
dalam Menghadapi Tantangan Zaman, (Jakarta: Lantabora Press, 2003), hlm.
244.
[6] Niels Mulder, Kepribadian
Jawa dan Pembangunan Nasional, (Yogyakarta : Gajah Mada University Press,
1996), hlm.55-56.
[7] Ibid, hlm. 57.
[8] Niels
Mulder, Agama. . ., Op. Cit., hlm.
249.
[9] Ibid, hlm. 251.
[10]
R.Linton, The Study of Man. Appleton:
New York, 1936, hlm 357-360. Lihat pula Koentjaranigrat, Sejarah Teori Antropologi, UI Press : Jakarta, 1990, hlm 97-98.
[11] Darori
Amin, Islam. . ., Op. Cit. 286-288.
[12]Ahmad
Khalil, Islam Jawa. . ., Op. Cit., hlm. 162.
[13] Ibid, hlm. 169.
[14] Ibid, hlm. 162.
[15] Ibid, hlm. 195.
[16] Darori
Amin, Islam. . ., Op. Cit. 288-289.
[17] Mahmud
Hamdi Zaqzuq, Reposisi Islam di Era
Globalisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004), hlm.12.
[18] Niels
Mulder, Agama. . ., Op. Cit., Hlm.
249.
[19] Darori
Amin, Islam. . ., Op. Cit., hlm. 289-290
What are the best casinos to play in 2021?
BalasHapusWhich casinos offer casinosites.one slots? — Casino Sites. Best casino sites jancasino.com are those https://jancasino.com/review/merit-casino/ that allow poormansguidetocasinogambling.com players to try a herzamanindir.com/ game from anywhere. The most common online slots