Minggu, 30 Juni 2013

MUSTAHIK ZAKAT

MUSTAHIK ZAKAT MAKALAH Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah: Hukum dan Fiqih Zakat Dosen Pengampu: Dede Rodin, M.Ag Disusun oleh: Aisyi Naqiyyah (112311001) Akriz Prayoga (112311002) Choirul Umami (112311003) Inayatun Nisa (112311004) FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2013 I. PENDAHULUAN Zakat secara bahasa merupakan mashdar dari kata zaka yang berarti berkah, tumbuh, bersih, dan baik. Menurut istilah fiqh, kata zakat berarti “Sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah untuk diserahkan kepada orang-orang yang berhak “. Dalam Al Qur’an sendiri, kata zakat dalam bentuk ma’rifat (definisi) disebutkan sebanyak dua puluh tujuh kali yang berbarengan dengan kata shalat. Berdasarkan definisi terminologi, terdapat tiga unsur yang dapat dipahami, yakni mengenai jumlah, unsur penerima dan syarat harta yang dikeluarkan. Dari sisi jumlah harta yang dikeluarkan, zakat telah ditentukan jumlahnya. Oleh karena itu, orang yang akan mengeluarkan zakat tidak bisa mengeluarkan harta yang dimilikinya dengan semaunya sendiri atau hanya seleranya saja. Dari segi orang yang berhak menerimanya, telah ditentukan orang-orang yang berhak menerimanya. Oleh karena itu, orang yang ingin mengeluarkan zakat, tidak bisa mengeluarkan zakat kepada sembarangan orang, melainkan hanya diberikan kepada orang yang behak menerimanya melalui saluran amil zakat dan demikian dari segi persyaratanya, telah ditentukan. Berdasarkan keterangan tersebut, maka pada kesempatan kali ini, kami akan membahas tentang salah satu unsur zakat, yaitu siapa saja yang berhak menerima zakat (mustahik zakat), serta permasalahan-permasalahan yang terkait dengan pembahasan tersebut. II. RUMUSAN MASALAH Dari pendahuluan di atas, maka dapat ditarik rumusan masalah sebagaimana berikut: 1. Apa yang dimaksud dengan mustahik zakat? 2. Siapa sajakah yang berhak menjadi mustahik zakat (penerima zakat)? III. PEMBAHASAN A. Pengertian mustahik zakat dan macam-macamnya Mustahik zakat adalah orang yang berhak menerima zakat. Dalam Al-Qur’an, telah disebutkan secara jelas tentang siapa saja yang berhak menerima zakat. Penjelasan tersebut terdapat dalam Qs. At-Taubah ayat 60 yang berbunyi:                           Artinya : “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. B. Para Mustahik Zakat Berdasarkan kandungan dalam Qs. At-Taubah ayat 60, mustahik zakat dibagi menjadi delapan golongan, diantaranya yaitu: 1. Fakir dan miskin Berbicara tentang fakir miskin, timbul pertanyaan, siapakah yang bisa disebut fakir dan miskin? Samakah diantara keduanya? Dalam Kamus Ilmiah Populer, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan fakir adalah orang yang tidak memiliki harta untuk mencukupi kebutuhan hidupnya . Sedangkan miskin adalah tidak berharta (hartanya tidak bisa mencukupi untuk memenuhi kebutuhannya), serba kekurangan. Abu Yusuf, pengikut Abu Hanifah, dan Ibnu Qasim pengikut Malik berpendapat bahwa kedua golongan itu sama. Berbeda dengan pendapat jumhur yang mengatakan bahwa keduanya adalah dua golongan tapi satu macam. Yaitu mereka yang dalam kekurangan dan dalam kebutuhan. Pemuka ahli tafsir, Tabari mengatakan bahwa yang dimaksud fakir adalah orang yang dalam kebutuhan, akan tetapi dapat menjaga diri untuk tidak minta-minta. Sedangkan yang dimaksud dengan miskin adalah orang yang dalam kebutuhan tapi suka merengek-rengek dan minta-minta. Sedangkan yang disebutkan dalam hadist shahih adalah: ليس المسكين الذي ترده التمرة والتمرتان , ولكن المسكينالذي يتعفف Artinya: “Yang dikatakan orang miskin itu bukan karena ia menerima sebuah dua buah kurma, tapi orang miskin itu yang dapat menahan diri dari tidak minta-minta.” Berdasarkan hadist tersebut, Imam Khattabi mengatakan bahwa “hadist itu menunjukkan bahwa arti miskin yang tampak dan dikenal , ialah mereka yang peminta-minta dan berkeliling.” Rasulullah menghilangkan sebutan miskin itu karena dengan meminta-minta itu berarti sudah berkecukupan, malah ada kalanya berlebih. Jadi kebutuhan baginya tak ada lagi. Maka dengan demikian gugurlah sebutan miskin itu baginya. Sedang yang tidak meminta-minta, mereka berada dalam garis kebutuhan dan kemiskinan. Dan mereka ini harus diberi bagian. 2. Amil Amil adalah para pekerja yang telah diserahi oleh penguasa atau penggantinya untuk mengurusi harta zakat. Mereka secara langsung mengurusi zakat, mencatat dan mengadministrasikannya, menagih zakat pada muzakki, melakukan sosoalisasi, dan mendistribusikannya dengan tepat sasaran sesuai dengan ketentuan syari’ah Islamiyyah. Meskipun mereka orang kaya, mereka tetap diberi zakat. Zakat tersebut sebagai imbalan jerih payahnya dalam membantu kelancaran zakat, karena mereka telah mencurahkan tenaga dan waktunya untuk kepentingan orang Islam. Menurut Quraish Shihab, menafsirkan rangkaian kata العاملين عليها amil memperoleh bagian dari zakat karena dua hal. Yang pertama karena upaya mereka yang berat, dan yang kedua karena upaya tersebut mencakup kepentingan sedekah. Kelompok ini berhak mendapatkan bagian dari zakat, maksimal satu perdelapan atau 12,5 persen, dengan catatan bahwa petugas zakat ini memang melakukan tugas-tugas keamilan dengan sebaik-baiknya dan sebagian besar atau seluruh waktunya digunakan untuk tugas tersebut. Jika hanya diakhir bulan ramadhan saja (untuk pengumpulan zakat fitrah), maka seyogyanya para petugas ini tidak mendapatkan bagian zakat satu perdelapan, melainkan hanya sekedarnya saja untuk melakukan administrasi atau konsumsi, biaya transportasi maupun biaya-biaya lain yang mereka butuhkan. Misalnya lima persen saja. Sedangkan menurut Yusuf Qardawi, hendaklah para amil zakat tersebut diberi upah sesuai dengan pekerjaannya, tidak terlalu kecil, dan juga tidak berlebihan. 3. Muallaf Pada umumnya pengertian muallaf dipahami sebagai kelompok orang yang dianggap masih lemah imannya, karena baru masuk Islam. Mereka diberi zakat agar bertambah kesungguhannya dalam ber-Islam dan bertambah keyakinan mereka, bahwa segala pengorbanan mereka untuk masuk Islam tidak sia-sia. Bahwa Islam dan umatnya sangat memperhatikan mereka, bahkan memasukkannya ke dalam bagian penting dari salah satu rukun Islam yaitu rukun Islam ketiga. Secara historis, pada masa awal Islam, mu’allaf yang diberikan dana zakat dibagi kepada dua kelompok yaitu: a. Orang kafir yang diharapkan dapat masuk Islam seperti Sofyan bin Umayyah, dan orang kafir yang dikhawatirkan menjahati orang Islam seperti ibn Sofyan bin Harb b. Orang Islam, terdiri dari pemuka muslim yang disegani oleh orang kafir, muslim yang masih lemah imanya agar dapat konsisten pada keimanannya dan muslim yang ada didaerah musuh. Mu’allaf dalam fiqih konvensional diberikan zakat sekedar untuk membujuk hatinya agar mantap imannya. Untuk konteks saat ini, bagian zakat untuk mu’allaf tetap disediakan, hanya saja bukan bertujuan agar seseorang masuk Islam. Menurut Syafi’iyah, mu’allaf terdiri dari: 1) Muslim yang lemah imannya, agar imannya menjadi kuat; 2) Pemuka masyarakat yang masuk Islam, diharapkan dapat mengajak kelompoknya masuk Islam; 3) Muslim yang kuat imannya, yang dapat mengamankan kejahatan dari orang kafir serta; 4) Orang yang dapat menghambat tindakan jahat orang yang tidak mau berzakat. Berdasarkan paparan di atas, pemberian zakat kepada mu’allaf bertujuan agar umat Islam merasa nyaman dan terjauhi dari tindakan anarkis kelompok lain. 4. Riqab Riqab adalah bentuk jamak dari Raqabah. Istilah ini dalam Al Qur’an artinya budak belian laki-laki (abid) dan bukan belian perempuan (amah). Istilah ini diterangkan dalam kaitannya dalam pembebasan atau pelepasan, seolah-olah Qur’an memberikan isyarah dengan kata kiasan ini maksudnya, bahwa perbudakan bagi manusia tidak ada bedanya seperti belenggu yang mengikatnya. Pada ayat tentang sasaran zakat, Allah berfirman: “Dan memerdekakan budak belian.”, Artinya bahwa zakat itu antara lain harus dipergunakan untuk membebaskan budak belian dan menghilangkan segala bentuk perbudakan. Pada saat ini, riqab dalam bentuk yang seperti ini tidak ada, karena itu, ulama’ kontemporer memperluas makna kata ini. Menurutnya, wilayah-wilayah yang sedang diduduki musuh atau dijajah, masyarakatnya serupa dengan hamba sahaya. Bahkan, boleh jadi keadaan mereka lebih payah. Karena itu, Mahmud Syaltut membolehkan pemberian zakat untuk tujuan memerdekakan wilayah-wilayah yang dijajah atau diduduki musuh. Menurutnya, perbudakan perorangan lenyap dengan sebab matinya orang itu, sedangkan negaranya tetap merdeka, bisa diurus oleh orang-orang pintar lainnya yang bebas merdeka. Akan tetapi, perbudakan terhadap suatu bangsa, akan melahirkan generasi yang keadaannya seperti nenek moyangnya. Yaitu tetap berada dalam perbudakan yang umum dan kekal, merusak umat dengan penuh kedzaliman yang besar. 5. Gharim Kata al-gharimin Berasal dari kata gharim yang berarti yang berhutang atau yang dililit hutang, sehingga tidak mampu membayarnya walaupun yang bersangkutan mempunyai kecukupan untuk kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Para ulama’ membagi kelompok ini menjadi dua bagian, yaitu kelompok pertama yaitu orang yang mempunyai hutang untuk kebaikan dan kemashlahatan diri sendiri dan keluarganya. Misalnya, membiayai diri dan keluarganya yang sakit, biaya pendidikan, dsb. Dan kelompok kedua, orang yang mempunyai hutang untuk kemaslahatan orang lain orang atau pihak lain. Misalnya, orang yang terpaksa berhutang karena sedang mendamaikan dua pihak yang sedang bertentangan, yang untuk penyelesaiannya membutuhkan dana yang cukup besar. Begitu juga hutang yang diakibatkan karena program atau kegiatan untuk kepentingan sosial, seperti dana yayasan anak yatim, rumah sakit untuk pengobatan orang miskin, sekolah, pondok pesantren, perpustakaan, dsb. 6. Fisabillah Secara harfiah, berarti jalan Allah. Kitab-kitab fiqih mengartikan sebagai tentara yang berperang melawan orang-orang kafir baik secara langsung atau tidak langsung. Dari tafsir Ibnu Atsir tentang kalimat sabilillah, terbagi menjadi dua pengertian, yaitu bahwa arti asal ini menurut bahasa adalah setiap amal perbuatan ikhlas yang dipergunakan untuk bertaqarrub kepada Allah SWT. Meliputi segala amal perbuatan saleh, baik yang bersifat pribadi maupun yang bersifat kemasyarakatan. Sedangkan dilihat dari arti yang biasa dipahami pada kata ini, apabila bersifat mutlak, adalah jihad, sehingga karena seringnya dipergunakan untuk itu, seolah-olah artinya hanya khusus untuk itu (jihad). Yusuf Qardawi menyatakan, tidak ada peluasan arti fi sabilillah untuk segala perbuatan yang menimbulkan kemashlahatan dan mendekatkan diri kepada Allah, begitu pula tidak terlalu sempit pengertiannya, hanya untuk jihad dalam arti tentara-tentara saja, perang hanya sebagian dari bentuk jihad, jihad itu bisa dilakukan dengan ilmu lisan dan tulisan, dan kadangkala bisa dilakukan melalui pemikiran, pendidikan, sosial, ekonomi, politik, dan kekuatan bala tentara, demikian juga usaha untuk menegakkan hukum Islam. 7. Ibnu sabil Ibnu sabil menurut jumhur ulama adalah kiasan untuk musafir, dalam artian yaitu orang yang terputus bekalnya dalam perjalanan. Untuk konteks sekarang ini, bagian ibnu sabil dapat dirinci sebagai berikut: a. Mengirim mahasiswa ke luar negeri b. Untuk ekspedisi ilmiah c. Pengiriman utusan ke konferensi-konferensi C. KESIMPULAN Dari penjelasan tentang mustahik zakat di atas, dapat disimpulkan bahwa antara empat sasaran yang pertama (fakir, miskin, amil, muallaf ) dengan empat sasaran yang terakhir (riqab, gharim, sabilillah, ibnu sabil) terdapat perbedaan. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Imam ar Razi bahwa empat golongan yang mengambil zakat dengan pengambilan yang bersifat pemilikan tetap, tanpa memperhatikan keadaan mereka setelah diberi zakat. Artinya, apabila mereka mengambil zakat tersebut, mereka memilikinya secara tetap, tanpa ada kewajiban untuk mengembalikannya dalam keadaan bagaimanapun juga. Mereka adalah orang-orang fakir, orang-orang msikin, petugas zakat dan golongan muallaf. Sedangkan empat golongan lain, yaitu orang-orang berhutang, dalam memerdekakan budak belian, keperluan di jalan Allah, dan orang-orang yang dalam perjalanan. Mereka mendapatkan zakat dengan catatan apabila dipergunakan sesuai dengan ketentuannya. Apabila tidak, maka zakat itu harus dikembalikan lagi. D. PENUTUP Demikianlah makalah ini kami buat untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum fiqih dan zakat. Kami sadar bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karenanya kritik dan saran yang konstruktif sangat kami butuhkan guna kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin. DAFTAR PUSTAKA A Partanto, Pius dan M. Dahlan al Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya:Arkola, 2001 Hafidhuddin, Didin, Zakat dalam Perekonomian Modern, Jakarta:Gema Insani,2002 Hasan, Muhammad, Manajemen zakat, Yogyakarta:Idea Press, 2011 Qardawi, Yusuf, Hukum Zakat, Jakarta:Lentera Antar Nusa, 2006 Shihab, Quraisy, Tafsir Al Misbah, vol.5, Jakarta:Lentera Hati, 2002

Jumat, 14 Juni 2013







Cara Install :
1. Extract file IDM 6.15 + Patch.rar
2. Jalankan idman615.exe
3. Lakukan proses instalasi IDM lebih lanjut.

Cara memakai patch :
1. Extract file IDM 6.15 + Patch.rar
2. Buka folder Patch.
3. Jalankan file Patch.exe
4. Klik "Patch"
5. Buka tempat instalasi IDM anda.
6. Proses patch selesai dan IDM anda telah menjadi full version

                                                    
                                                    Langsung saja saya beri link downloadnya
                                                    Silahkan download disini via Mediafire

Keterangan : Jangan update IDM anda, atau anda harus mengulangi proses patch lagi.

Nilai jawa islam menghadapi modernisasi

I.       Pendahuluan
A.    Latar Belakang
Bangsa yang besar adalah bangsa yang terus berpijak pada budaya, kemanapun bangsa tersebut berkembang. Apalah arti nilai-nilai adiluhung yang terkandung dalam budaya tersebut apabila kelak akan terhenti pada suatu generasi. Seberapa erat sang penerus menjaga menjaga akar kebudayaan akhirnya menjadi faktor tertentu kebesaran sebuah bangsa. Budaya Jawa, sebagai satu dari sekian ragam budaya yang dimiliki bangsa kita tengah berdiri menghadapi tantangan yang juga menjadi tantangan setiap budaya di era modern.
Salah satu dilema yang dihadapi masyarakat yang sedang berada dalam era modernisasi adalah bagaimana menempatkan nilai-nilai dna organisasi keagamaannya ditengah-tengah perubahan yang terus terjadi dengan cepat dalam kehidupan sosialnya. Disatu pihak ia ingin mengikuti gerak modernisasi, dipihak lain ia tidak ingin kehilangan karakteristik kepribadiannya yang ditandai dengan berbagai macam nilai yang dianutnya.
Pada pembahasan makalah kami ini, akan mencoba mendiskripsikan tentang dinamika nilai Jawa Islam, bagaimana perpaduan nilai budaya Jawa dengan Islam, dan tantangan modernitas terhadap nilai-nilai Jawa Islam.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana perpaduan nilai budaya Jawa dengan Islam?
2.      Bagaimana enkulturasi nilai budaya Jawa Islam?
3.      Bagaimana dinamika nilai Jawa Islam dalam menghadapi modernisasi?










II.    Pembahasan
A.    Nilai Jawa Islam
Agama Islam mengalami proses lokalisasi di Jawa. Islam di Jawa telah disesuaikan dengan cara hidup Jawa,[1] serta disesuaikan dengan kebudayaan yang ada di Jawa. Kebudayaan adalah hasil daya cipta, karsa, dan rasa manusia.[2] Ada dua faktor yang mendorong terjadinya perpaduan nilai-nilai budaya Jawa dan Islam:
1.   Secara alamiah, sifat dari budaya itu pada hakikatnya terbuka untuk menerima unsur budaya lain.
2.   Sikap toleran para walisongo dalam menyampaikan ajaran Islam di tengah masyarakat Jawa yang telah memiliki keyakinan pra Islam yang sinkretis.[3]
B.     Enkulturasi nilai budaya Jawa Islam
Enkulturasi (Pembudayaan) yang secara terus-menerus dilakukan melalui tradisi lisan maupun tertulis membuat nilai budaya dalam setiap individu tertanam secara mantap. Kuatnya adat istiadat yang melekat dalam diri seseorang menyebabkan sulitnya merubah adat yang telah mengakar dalam masyarakat.
Dalam enkulturasi nilai budaya Jawa Islam, selain dilakukan oleh individual dan masyarakat, juga didukung pula oleh penguasa. Enkulturasi yang dilakukan secara mantap oleh raja maupun masyarakat dalam waktu yang lama menyebabkan nilai budaya Jawa Islam sampai sekarang masih melekat di masyarakat Jawa, walaupun telah mengalami pergeseran, sebagaimana lazimnya budaya lain yang mengalami perubahan, sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat pencipta kebudayaan tersebut.[4]
C.    Dinamika nilai Jawa Islam dalam menghadapi modernisasi
Kata “modern”, “modernitas”, dan “modernisasi” merupakan pengertian-pengertian abstrak yang sudah sangat populer. Dan yang lebih menonjol dari modernitas yang kita hadapi sekarang adalah teknikalisme atau pandangan yang serba terkait dengan teknologi. Karena adanya perang sentral teknikalisme serta bentuk-bentuk kemasyarakatan yang terkait dengan itu, maka orang-orang menyebut zaman sekarang sebagai “technical age”.[5] Modernisasi berarti progressProgress adalah dinamika , yaitu suatu proses yang berputar terus-menerus.[6] Modernisasi adalah  pembangunan kemampuan individu-individu supaya mereka menguasai kebendaan, supaya mereka mampu mengatasi problematik sosial dan ekonomis, supaya mereka mampu mengatur hidup masyarakat.[7]
Dalam masyarakat Jawa, akrab dengan pembagian antara kalangan Islam yang secara setia menjalankan peraturan agama dan Islam KTP (santri vs. abangan). Sebagai suatu rumusan yang mungkin menggambarkan realitas sosial, rumusan ini seolah-olah menggambarkan kehidupan di Jawa statis dan tidak takluk pada perubahan.[8] Pemisahan kultural ini menjadi lebih buruk ketika dimasuki unsur politis, yang menumbuhkan kelompok-kelompok kultural yang terpisah, intoleransi, dan perjuangan idiologis yang hebat.[9]
Wujud budaya tidak lepas dari situasi dan waktu dihasilkannya unsur kebudayaan tersebut. Oleh karenanya, dalam kebudayaan dikenal dengan adanya perubahan. Seperti terjadinya penyempurnaan sehingga ditemukan adanya perkembangan budaya bangsa-bangsa di dunia ini, dari tingkat yang paling sederhana ke arah yang lebih kompleks. Dengan terjadinya globalisasi di era modern ini, ada unsur budaya lokal yang memiliki nilai universal  dan ditemukan pada bangsa-bangsa yang ada di belahan dunia lainnya.
Dalam proses perubahan kebudayaan ada unsur-unsur kebudayaan yang mudah berubah dan ada yang sukar berubah, berkaitan dengan hal ini Linton membagi kebudayaan menjadi inti kebudayaan (convert culture) dan perwujudan kebudayaan (overt culture). Bagian inti terdiri dari sistem nilai budaya, keyakinan keagamaan yang dianggap keramat, beberapa adat yang telah mapan dan telah tersebar luas di masyarakat. Bagian inti kebudayaan sulit berubah, seperti keyakinan agama, adat istiadat, maupun sistem nilai budaya.[10] Sementara itu wujud kebudayaan yang merupakan bagian luar atau fisik dari kebudayaan, seperti alat-alat atau benda-benda hasil seni budaya, mudah untuk berubah.
Dengan menggunakan kerangka teori tersebut, maka nilai budaya Jawa Islam yang sulit berubah di masa modern ini adalah yang terkait dengan keyakinan keagamaan dan adat istiadat. Dalam konteks terjadinya perubahan ke arah modernisasi yang berciri rasionalistis, materialistis dan egaliter, maka nilai budaya Jawa dihadapkan pada tantangan budaya global yang memiliki nilai dan perwujudan budaya yang pluralistik. Sebagai budaya lokal, budaya Jawa Islam memang memiliki nilai universal, disamping nilai lokalnya. Diantaranya, nilai keuniversalan itu terletak pada nilai spiritualnya yang religius magis. Nilai ini juga ditemukan pada bangsa di negeri lain, tidak terbatas pada budaya Jawa. Maka nilai itu nampaknya masih akan hidup di masyarakat, karena adanya faktor-faktor penyebab diantaranya, nilai spiritual Jawa Islam yang sinkretis, yang dalam realitasnya tidak mudah hilang dengan munculnya rasionalisasi diberbagai segi kehidupan karena diperlukan dalam menghadapi berbagai tantangan hidup yang muncul di abad modern. Jadi, orang yang mengaku agama Islam, atau penganut budaya Jawa Islam, tidak dapat meninggalkan tradisi spiritualnya seperti slametan dan wetonan dengan membuat bubur abang putih agar mendapatkan keselamatan. Ketenangan batin mereka akan terusik jika tidak melaksanakan slametan pada hari tertentu sebagaimana terdapat dalam adat istiadat Jawa yang bertahun-tahun dilaksanakan oleh nenek moyang. Karena adat itu telah mengakar lama dalam masyarakat. Namun, dalam kenyataannya di masyarakat, ada pula adat istiadat Jawa yang telah mengalami pergeseran sehingga dipandang tidak memiliki nilai magis lagi, tetapi sekedar bernilai seni. Misalnya rangkaian upacara dalam perkawinan seperti tarub, siraman, midodareni, kacar kucur, dan lainnya, yang dulu mempunyai nilai religius magis.
Kehidupan spiritual di era modern ini secara umum memang tampak mengalami peningkatan, termasuk dikalangan masyarakat Jawa. Hal ini disebabkan karena sebagian besar orang mulai merasakan pengaruh negatif dari budaya modern yang hanya menonjolkan logika dan materi, tetapi kering dari nilai spiritual. Sejalan dengan hal itu maka banyak orang yang merindukan ketenangan batin dan larilah mereka ke ajaran agama dan kehidupan spiritual, termasuk spiritualitas Jawa Islam, yang mulai banyak dilirik kembali oleh masyarakat modern.
Kehidupan spiritual dibutuhkan pula oleh masyarakat modern di saat terjadi persaingan ketat yang menuntut profesionalisme dan kualitas tinggi di berbagai bidang. Hal ini menyebabkan banyak orang stress, dan mereka mencari ketenangan batin, diantaranya dengan kembali kepada tradisi spiritual Jawa Islam yang sinkretis. Tidak mengherankan jika di era modern ini upacara yang sejak dulu telah mengakar di masyarakat, yang bersifat religius magis banyak dilakukan lagi, seperti ruwatan untuk membuang sial. Kepercayaan bahwa orang-orang yang termasuk dalam kelompok sukerta, seperti anak tunggal, dapat menjadi korban dari Batara Kala, maka perlu diberi kekuatan batin. Hal ini mendorong orang-orang di era modern untuk melakukan ruwatan sebagai tolak bala.[11]
Budaya masyarakat Jawa lainnya yang masih tetap terpelihara dan dijaga oleh sebagian besar masyarakat Jawa di masa sekarang diantaranya,
1.      Prinsip kerukunan
Menurut Franz Magnis, yang dinamakan prinsip kerukunan apabila seseorang hendaknya bersikap sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan konflik.[12] Hal untuk mencegah konflik contohnya bisa dilakukan dengan kemampuan untuk menyampaikan hal-hal yang tidak enak secara tidak langsung.[13]
2.      Prinsip hormat
Menurut Franz Magnis, yang dinamakan prinsip hormat apabila seseorang dalam berperilaku, berbicara, dan bertindak dapat menunjukkan sikap hormat kepada orang lain.[14] Dalam pengamatan Sutherland, sikap hormat dan sikap-sikap yang berhubungan dengannya berkembang dengan jelas dalam kalangan masyarakat dimana hidup sehari-hari sangat dipengaruhi oleh struktur-struktur hierarkis, yaitu dalam kalangan priyayi yang secara tradisional berpedoman pada tradisi kehidupan keraton. Sedangkan dalam lingkungan desa dengan struktur dasar yang egaliter sikap-sikap itu tidak memainkan peranan yang begitu besar. Begitu juga dalam masyarakat yang telah tersentuh oleh tradisi dan alam pemikiran modern yang menyeru pada kesamaan derajat dan kedudukan antarsesama.[15]
Dilihat dari kebutuhan masyarakat modern terhadap nilai optimal, maka perubahan nilai budaya Jawa Islam di era modern tampaknya lebih tampak terjadi pada budaya fisik. Dalam realitasnya, beberapa nilai budaya Jawa Islam seperti seni, ilmu pengetahuan, teknologi, dan gaya hidup, telah mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan masyarakat modern.
Sesuai dengan tuntutan masyarakat modern, unsur budaya Jawa Islam dalam beberapa bidang memang membutuhkan reinterpretasi agar sesuai dengan perubahan yang terjdi dalam masyarakat. Misalnya ungkapan-ungkapan yang selama ini ditangkap secara tekstual tidak sesuai lagi, perlu diberi pemaknaan yang rasional dan kondisional. Seperti  alon-alon waton kelakon. Ungkapan ini sering dikaitkan dengan etos kerja dan sikap orang Jawa yang terkesan selalu lambat. Untuk masa sekarang, tentu hal ini tidak cocok lagi karena dalam kehidupan modern dituntut adanya efisiensi waktu sehingga pekerjaan perlu dilakukan secara cepat dan tepat, ungkapan seperti ini kiranya perlu diberi makna baru, misalnya di masa modern ini segala pekerjaan perlu manajemen yang baik agar hasilnya optimal. Untuk itu diperlukan perencanaan dan evaluasi. Maka suatu pekerjaan tidak perlu dilaksanakan secara tergesa-gesa (grusa-grusu), tanpa perencanaan. Mekanisme kerja seperti itu tentu memerlukan prosedur yang lebih lama.dibandingan dengan yang dilaksanakan tanpa perencanaan. Jika hasilnya maksimal, tentu akan timbul ungkapan “biarlah lambat asal hasilnya optimal” senada dengan alon-alon waton kelakon.[16]
Kehidupan modern ini secara umum memang mengalami peningkatan, termasuk dikalangan masyarakat Jawa. Di zaman yang modern ini manusia dituntut untuk memainkan fungsi akal dan pikiran demi menyikapi kebudayaan modern yang disuguhkan didepan kita. Tidak mungkin rasanya menolak kebudayaan yang mengandung manfaat bagi umat manusia. Maka dengan penyikapan yang kritis, disatu sisi kita tetap menjaga identitas kebudayaan sendiri dan disisi lain, kita tidak terpingkirkan dari perkembangan zaman.[17]
Pemisahan yang dikembangkan dalam buku Geertz The Religion of Java mengenai santri-abangan sekarang ini dapat dilihat sebagai bagian dari struktur masyarakat yang sudah lewat. Sekarang ini, setidaknya yang terlihat di tingkat kelas menengah berpendidikan di kota, dua arus utama dalam budaya Jawa itu sedang saling bertemu. Apalagi, semua orang Jawa, apapun tingkat Islamisasi mereka, mengambil bagian dalam budaya Jawa.[18]
Selain itu perlu dilakukan rekonstruksi agar kesan feodalisme yang melekat dalam budaya Jawa, seperti tata krama yang menerapkan hierarki bahasa, dapat diubah dalam bentuk yang egaliter. Karena dalam era modern orang tidak lagi dibatasi oleh sekte-sekat budaya sehingga menginginkan penggunaan bahasa yang berlaku nasional atau internasional. Disamping itu, prinsip egaliter dalam kehidupan sosial kemasyarakatan mulai didengungkan disemua lapisan masyarakat. Oleh karena itu, penggunaan bahasa krama inggil yang mencerminkan strata sosial masyarakat tidak perlu dipaksakan pemakaiannya. Yang penting, secara substansial nilai sopan santun berbicara dan bertingkah laku yang terdapat dalam budaya Jawa Islam tetap dilestarikan, walaupun dalam format bahasa nasional atau pun internasional. Alasannya, pada dasarnya nilai kesopanan dalam berbicara dan bertingkah laku  itu merupakan nilai universal yang diterima oleh umat manusia di mana pun.
Dengan sifat budaya Jawa yang lentur, diharapkan nilai-nilai budaya Jawa Islam yang luhur masih dapat bertahan, sewaktu harus berhadapan dengan unsur budaya modern yang global. Dalam komunikasi antar budaya yang pernah terjadi antara budaya Jawa dengan budaya Hindu, Budha, dan Islam, ternyata tidak menyebabkan budaya Jawa luntur, tetapi justru diperkaya dan diperhalus, melalui asimilasi maupun akulturasi. Dan untuk berkomunikasi itu budaya jawa memiliki prinsip yang mendukung elastisitas tersebut, misalnya filsafat tentang “keselarasan sosial” dan membangun kesejahteraan umat manusia.[19]
III.  Penutup
A.    Kesimpulan
B.     Penutup
Kritik saran



[1] Niels Mulder, Agama, Hidup Sehari-hari dan Perubahan Budaya, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), hlm. 250.
[2] Ahmad Khalil, Islam Jawa: Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa, (Malang: UIN Press, 2008), hlm. 129.
[3] Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta : Gama Media, 2000), hlm. 277-279.
[4] Ibid, hlm. 282-285.
[5] Muhammad Tholhah Hasan, Prospek Islam dalam Menghadapi Tantangan Zaman, (Jakarta: Lantabora Press, 2003), hlm. 244.
[6] Niels Mulder, Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional, (Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1996), hlm.55-56.
[7] Ibid, hlm. 57.
[8] Niels Mulder, Agama. . ., Op. Cit., hlm. 249.
[9] Ibid, hlm. 251.
[10] R.Linton, The Study of Man. Appleton: New York, 1936, hlm 357-360. Lihat pula Koentjaranigrat, Sejarah Teori Antropologi, UI Press : Jakarta, 1990, hlm 97-98.
[11] Darori Amin, Islam. . ., Op. Cit. 286-288.
[12]Ahmad Khalil, Islam Jawa. . ., Op. Cit., hlm. 162.
[13] Ibid, hlm. 169.
[14] Ibid, hlm. 162.
[15] Ibid, hlm. 195.
[16] Darori Amin, Islam. . ., Op. Cit. 288-289.
[17] Mahmud Hamdi Zaqzuq, Reposisi Islam di Era Globalisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004), hlm.12.
[18] Niels Mulder, Agama. . ., Op. Cit., Hlm. 249.
[19] Darori Amin, Islam. . ., Op. Cit., hlm. 289-290

Selasa, 11 Juni 2013

Naruto Shipuden ALL Episode

pagi guys,ni gue mau share semua episode naruto shipuden,,,
langsung aja buka link dibwah
klik disini

Jarimah Qadzaf

       I.         Jarimah Qadzaf
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Fiqh Jinayah
Dosen Pengampu: Rokhmadi Drs,M Ag.






Disusun oleh:
1.      Choirul Umami                 (112311003)
2.      Kholili Zubaidillah            (112311005)
3.      Muhammad sabiq              (1123110   )

FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012



   PENDAHULUAN
Fiqh jinayah merupakan segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan criminal yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf, sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang terperinci dari Alquran dan Alhadist[1].fiqh jinayah (hukum pidana islam) merupakan syariat Allah yang mengandung kemaslahatan bagi kehidupan manusia baik didunia ataupun diakhirat. Syariat islam dimaksud, secara materiil mengandung kewajiban asasi bagi setiap manusia untuk melaksanakannya. Konseb kewajiban asasi syariat, yaitu menempatkan Allah sebai pemegang segala hak, baik yang ada pada diri sendiri maupun yang ada pada diri orang lain. Setiap orang hanya pelaksana yang berkewajiban memenuhi perintah Allah.
Alquran merupakan penjelas Allah tentang syariat, sehingga disebut Al bayan. Albayan secara garis besar mempunyai empat cara dan salah satiny dengan cara nash (tekstual) tentang syariat sesuatu, oleh karena itu, pada kesempatan kali ini kami akan memaparkan sedikit tentang jarimah Qadzaf. Apa sih jarimah Qadzaf itu?. Apa sajakah yang menjadi dasar hukumnya?. Dan sanksi hukum yang seperti apakah yang berlaku pada pelaku Qadzaf itu?.

    II.            PEMBAHASAN

A.    Pengertian Jarimah Qadzaf
Salah satu delik pidana dalm hukum pidana islam, yaitu al qadzfu (qadzaf). Secara etimologi qadzaf berarti melempar dengan batu tuduhan menyakiti dengan kata-kata, atau menuduh berzina[2]. Sedangkan pengertian secara terminology adalah menuduh wanita yang baik melakukan zina atau menafikan nasab (keturunan) anak seseorang[3]. Menafikan nasab seorang anak, pada hakikatnya adalah juga menuduh ibunya melakukan zina dengan laki-laki lain. Oleh sebab itulah tindakan seperti ini dimasukkan ke dalam tindak jenayah qadzaf. Dalam hukum islam perbuatan seperti ini masuk kategori tindak pidana hudud. Tindak jenayah qadzaf yang dikenakan hukuman hudud harus memenuhi beberapa rukun. Yaitu:
a.       tuduhan yang dilontarkan adalah tuduhan melakukan zina atau menafikan nasab seseorang.
b.      Yang dituduh itu adalah wanita yang baik.
c.       Tuduhan itu dilakukan secara sadar dan sengaja[4].
A.    Dasar Hukum Qadzaf dalam AlQuran dan Al Hadist.
1.      lquran Surah An-Nur (24) ayat 4
tûïÏ%©!$#ur tbqãBötƒ ÏM»oY|ÁósßJø9$# §NèO óOs9 (#qè?ù'tƒ Ïpyèt/ör'Î/ uä!#ypkà­ óOèdrßÎ=ô_$$sù tûüÏZ»uKrO Zot$ù#y_ Ÿwur (#qè=t7ø)s? öNçlm; ¸oy»pky­ #Yt/r& 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÍÈ

Artinya:Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik[5] (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.
korban dari tuduhan palsu zina ini bisa perempuan dan bisa laki-laki. Perempuan baik-baik dinyatakan secara jelas dalam ayat tersebut diberikan sebagai contoh actual atau tuduhan palsu terhadap perempuan itu lebih serius dan lebih jahat sifatnya[6].
2.      Alquran Surah An-Nur (24) ayat 13
Ÿwöq©9 râä!%y` Ïmøn=tã Ïpyèt/ör'Î/ uä!#ypkà­ 4 øŒÎ*sù öNs9 (#qè?ù'tƒ Ïä!#ypk9$$Î/ šÍ´¯»s9'ré'sù yZÏã «!$# ãNèd tbqç/É»s3ø9$# ÇÊÌÈ
 Artinya:Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Olah Karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi Maka mereka Itulah pada sisi Allah orang- orang yang dusta.


3.      Alquran  surah An-Nur (24) ayat 19
žcÎ) tûïÏ%©!$# tbq7Ïtä br& yìϱn@ èpt±Ås»xÿø9$# Îû šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNçlm; ë>#xtã ×LìÏ9r& Îû $u÷R9$# ÍotÅzFy$#ur 4 ª!$#ur ÞOn=÷ètƒ óOçFRr&ur Ÿw tbqßJn=÷ès? ÇÊÒÈ
 Artinya:Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak Mengetahui.
4.      Alquran Surah An-Nur (24) ayat 23 dan 24.
¨bÎ) tûïÏ%©!$# šcqãBötƒ ÏM»uZ|ÁósãKø9$# ÏM»n=Ïÿ»tóø9$# ÏM»oYÏB÷sßJø9$# (#qãZÏèä9 Îû $u÷R9$# ÍotÅzFy$#ur öNçlm;ur ë>#xtã ×LìÏàtã ÇËÌÈ tPöqtƒ ßpkôs? öNÍköŽn=tã öNßgçFt^Å¡ø9r& öNÍkÏ÷ƒr&ur Nßgè=ã_ör&ur $yJÎ/ (#qçR%x. tbqè=yJ÷ètƒ ÇËÍÈ
Artinya:Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah[7]  lagi beriman (berbuat zina), mereka kena la'nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar,
Pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.


Garis hukum qadzaf didalam Alquran yang diungkapkan diatas, dapat disimpulkan sebagai berikut.
1.      Orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik berbuat zina dan tidak mendatangkan empat saksi, maka sanksi hukum baginya 80 kali dera.
2.      Janganlah kamu terima kesaksian merekA untuk selama-lamanya dan mereka adalah orang-orang fasik.
3.      Orang-orang yang menuduh dimaksud, tidak mendatangkan empat orang saksi atas penuduhannya maka mereka itulah disisi Allah orang-orang yang dusta.
4.      Orang-orang yang ingin agar berita perilaku yang amat keji itu tersiar dikalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka adzab yang pedih didunia dan akhirat.
5.      Sesungguhnya orang-orang yag menuduh wanita-wanita yang baik-baik lagi beriman untuk berbuat zina, mereka kena laknat didunia dan akhirat, dan bagi mereka adzab yang besar[8].



Selain didalam Alquran ada beberapa hadist yang membicarakan tentang sanksi hukum qadzaf diantaranya: 
1.       
لَ قَا هُنَّ مَا وَ الله لُ رَسُو يَا قِيْلَ تِ بِقَا الْمُو السَبْعَ جْتَنِبُوا ا لَ قَا سَلَّمَ وَ عَلَيْهِ الله صَلَّى للهَ نَّ  اَ ةً يْرَ هُرَ اَبِيْ عَنْ
 لِّي الرِّبَا اَكْلُ وَ الْيَتِيْمِ لِ مَا اَكْلُ وَ لْحَقِّ بِا لَّا ا الله مَ حَرَّ الَّتِي النَّفْسِ قَتْلُ وَ السِّحْرُ وَ الله بِا كُ  الشَّرْ
تِ الْمُؤْمِنَا تِ فِلَا الْغَا تِ الْمُحْصِنَا فُ وَقَذْ الزَّحْفِ يَوْمَ لِّي وَالتَّوا

Artinya:“diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. Bahwasanya: Rasulallah saw. Bersabda: jauhilah 7 perkarayang boleh menbinasakan kamu, yaitu menyebabkan kamu masuk neraka atau kamu dilaknat oleh Allah.para sahabatnya bertanya: wahai rasulullah!apakah tujuh perkara itu? Rasulullah bbersabda: mensyariatkan Allah yaitu menyektukan Nya, melakukan perbuatan sihir, membunuh manusia yang diharamkan oleh Allah melainkan dengan hak, memakan harta anak yatim, memakan harta riba, lari dari medan pertempuran dan memfitnah perempuan-perempuan yang baik melakukan perbuatan zina[9]
2.     عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ و سَلَّمَ مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً هِيَ أَضَرُّ عَلَى الرِّجَلِ مِنْ النِّسَاءِ
3.       





 “ diriwyatkan dariAbu Hurairah ra. Katanya: Abu Al-Qasim saw. Pernah bersabda: siapa yang menuduh hamba miliknya melakukan perbuatan zina maka dihari kiamat kelak dia akan dikenai hukuman kecuali tuduhan itu adalah benar[10]
4.       





“ diriwayatkan dari Usman bin Zaid ra. Katanya: Rasulullah saw bersabda: tidak ada fitnah yang membahayakan seorang lelaki sesudah zamanku kecuali fitnah dari seorang wanita”
Garis hukum yang dapat dipahami dari hadist yang diungkapkan diatas adalah sebagai berikut:
1.      Muhammad Rasulullah saw. Telah bersabda: jauholah 7 perkara yang boleh membinasakan kamu diantaranya yaitu menfitnah perempuan-perempuan yang baik untuk melakukan perbuatan zina.
2.      hari kiamat kelak dia akan dikenai hukuman kecuali tuduhan itu adalah benar”
3.      Rasulullah saw bersabda: tidak ada fitnah yang membahayakan seorang lelaki sesudah zamanku kecuali fitnah dari seorang wanita[11].
B.     Sanksi hukum bagi pelaku Alqadzfu.
Sanksi hukum pelaku Alqadzfu berdasarkan ayat-ayat Alquran dan Alhadist yang telah kami paparkan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa menuduh seseorang melakukan zina mempunyai status hukum yang tergolong tindak pidana kejahatan. Dan hukumannya yaitu, didera atau dicambuk sebanyak 80 kali. Di samping sanksi hukum fisik tersebut, penuduh dinyatakan cacat hukum.
Persyaratan hukuman dera dijatuhkan. Yaitu:
1.      Penuduh adalah orang dewasa, berakal sehat, dan melempar tuduhan atas inisiatif  dan bukan atas tekanan orang atau pihak lain.
2.      Orang yang dituduh adalah orang yang berakal sehat,sehat,beragama islam, dan merdeka,dan tidak pernah berbuat zina atau pelacur.
3.      Kalimat tuduhan baik kata-kata atau tulisan menunjukkan bahwa orang yang dituduhnya telah berbuat zina baik dengan kalimat lugas atau kalimat sampiran.
4.      Terdakwa dalam hal ini penuduh dikatakan bertangggung jawab atas tuduhan yang dilontarkan dengan pernyataan sendiri atau diajukan oleh seseorang dengan dukungan dua orang saksi.
Pertanggung jawaban atas tuduhan yang dilontarkan oleh penuduh kepada tertuduh adalah benar bila penuduh mampu menghadirkan empat orang saksi laki-laki yang adil, yang mendukung tuduhan yang dilontarkan itu. Jika penuduh dinyatakan benar tuduhannya, pihak tertuduh dikenai sanksi hukum zina[12].
Unsur tindak pidana ini ada 3 yaitu:
a.       Menuduh zina atau mengingkari nasab.
b.      Orang yang dituduh itu muhsan.
c.       Ada itikad jahat.
Orang yang menuduh zina itu harus membuktikan kebenaran tuduhannya. Tuduhan zina iti harus diucapkan dalam bahasa yang eksplisit. Sementara itu, terhadap tuduhan yang berupa sindiran harus disertai dengan bukti-bukti yang menunjukkan maksud qadzaf.
Pembuktian dalam tindak pidana ini dapat diperoleh baik melalui pengakuan terdakwa maupun alat bukti dua orang saksi. Tuduhan palsu sodomi juga sama huklumannya dengan tuduhan palsu zina yaitu akan dijatuhi hukuman ha[13].



 III.            KESIMPULAN
Syariat islam diturunkan oleh Allah swt. untuk melindungi harkat dan martabatnya. Setttiap perilaku yang merendahkan harkat dan martabat manusia, baik secara pribadi maupun sebagai anggota masyarakat tertentu dilarang oleh pencipta manusia, yaitu Allah swt. perbuatan qadzaf adalah perbuatan yang sangat tercela dan dilaknat oleh Allah swt. menuduh seseorang melakukan perbuatan zina baik dalam bentuk kata-kata maupun bentuk tulisan yang mengakibatkan pencemaran nama baik. Oleh karena itu, syariat agama islam melarang membiarkan seseorang melakukan perbuatan yang dilaknat oleh Allah dan tentunya dilarang oleh hukum islam.

 IV.            PENUTUP
Demikianlah makalah yang bisa saya buat, saya sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan. Sehingga saya masih memerlukan kritik dan saran yang bisa menjadikan makalah ini menjadi lebih baik. Dan semoga makalah ini berguna bagi kita semua.





[1]Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta: Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan,1992),hlm.86
[2]Muhammad bin Abu Bakar al-Razi,op.cip.,hlm.526
[3]Ibid.,hlm.455.
[4]Mohd. Said Ishak.,hudud dalam fiqh islam,(Malaysia: Universiti Teknologi Malaysia,2000),hlm.9.
[5] Yang dimaksud wanita-wanita yang baik disini adalah wanita-wanita yang suci, akil balig dan muslimah.
                                                                                                                        
[6]Topo santoso,Membumikan Hukum Pidana Isla.,(Jakarta: Gema Insani,2003),hlm26.
[7] yang dimaksud dengan wanita-wanita yang lengah ialah wanita-wanita yang tidak pernah sekali juga teringat oleh mereka akan melakukan perbuatan yang keji itu.

[8]Zainuddin Ali, hukum pidana isla,(Jakarta: Sinar Grafika,2007),hlm.53-55.
[9]Hadist ini dikutip dari CD Holy quran & Alhadist riwayat bukhary & muslim, 2002, hadist no.55.
[10]Ibid.,hadis No. 867.
[11]Ibid, hlm.55-60.
[12]Ibid, hllm.60.

[13]Topo santoso,Membumikan Hukum Pidana Isla.,(Jakarta: Gema Insani,2003),hlm.26-27.